KOTA BEKASI, media Pena98 — Di tengah derasnya arus informasi dan tekanan algoritma media sosial, wartawan dituntut tak hanya cepat menulis, tetapi juga cerdas berpikir, cermat bertindak, dan beretika dalam setiap langkahnya.
Refleksi tersebut mengemuka dalam Pembekalan dan Sosialisasi Penerapan Undang-Undang Pers, Undang-Undang Keterbukaan Informasi Publik (KIP), serta Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) yang digelar oleh Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Bekasi Raya, Jumat (31/10/2025), di Sekretariat PWI Bekasi Raya, Kota Bekasi.
Kegiatan ini menghadirkan narasumber lintas sektor, di antaranya Direktur Uji Kompetensi Wartawan (UKW) PWI Pusat Aat Surya Safaat, pakar hukum Dr. Sulvia Triana Hapsari, S.H., M.Hum, serta perwakilan Bidang Hukum Polres Metro Bekasi Kota AKP Sentot.
Turut hadir Kadis Kominfostandi Kota Bekasi, Drs. Nadih Arifin, M.Si, serta para jurnalis dari berbagai media cetak, online, dan elektronik anggota PWI Bekasi Raya.
Mengawali sesi, wartawan senior Aat Surya Safaat menekankan pentingnya niat yang lurus dalam menjalankan profesi jurnalistik.
“Wartawan keluar rumah untuk bertugas harus berniat baik agar rezekinya lancar,” ujarnya penuh makna.
Ia mengingatkan, di tengah padatnya aktivitas dan agenda narasumber, wartawan harus cerdik, bukan agresif.
“Konfrontir berita itu penting, tapi harus tahu tempat dan waktu. Doorstop bukan berarti menyerbu, melainkan membaca momentum,” tegasnya.
Menurutnya, kecerdikan di lapangan adalah bagian dari etika profesional, bukan sekadar trik jurnalistik. Wartawan, kata Aat, harus selalu berpegang pada prinsip “cover both sides”, menjaga keberimbangan, serta tunduk pada Kode Etik Jurnalistik (KEJ).
Nada bijak itu disambung oleh Dr. Sulvia Triana Hapsari, akademisi hukum yang membedah dimensi yuridis profesi pers.
Ia menyoroti bahwa banyak kasus hukum yang menjerat wartawan bukan karena isi beritanya, tetapi karena unsur mens rea — niat atau kesengajaan dalam perbuatan hukum.
“Kadang bukan tulisannya yang salah, tapi cara menulis yang menggiring opini hingga dianggap merugikan pihak lain,” jelasnya.
Sulvia menegaskan bahwa literasi hukum adalah bagian penting dari literasi media.
“Satu kalimat bisa menjadi bukti hukum, satu unggahan bisa menjadi delik. Karena itu, kesadaran etik dan kehati-hatian adalah benteng utama profesi,” ujarnya.
Dari perspektif penegakan hukum, AKP Sentot menyampaikan bahwa kepolisian memandang media sebagai mitra strategis, bukan lawan.
“Hukum tidak melarang kritik, tapi melarang fitnah,” tegasnya.
Menurutnya, UU Pers, UU KIP, dan UU ITE bukanlah pembatas kebebasan, melainkan pagar etika agar demokrasi komunikasi tetap beradab.
“Wartawan tidak boleh tendensius. Tulis fakta dengan berimbang, maka hukum akan melindungi Anda,” pesannya.
Menutup acara, Ketua PWI Bekasi Raya, Ade Muksin, S.H., menyampaikan refleksi mendalam bahwa profesi wartawan harus berjalan di atas dua kaki: kebebasan dan tanggung jawab.
“Forum ini bukan sekadar pembekalan, tapi cermin bahwa wartawan tidak hanya berani menulis, tapi juga harus paham batasnya,” tegasnya.
Ade juga menyesalkan ketidakhadiran pihak Pengadilan Negeri Kota Bekasi, khususnya Ketua PN, yang seharusnya dapat memberikan perspektif yudikatif dalam forum tersebut.
“Pers yang kuat membutuhkan sistem hukum yang lengkap dan hadir,” ujarnya.
“Pers yang beretika akan dihormati hukum. Pers yang jujur akan dihormati sejarah. Mari kita jaga marwah profesi ini, agar pena kita tetap tajam, tapi tidak menusuk — hanya menerangi.” Tutupnya
Acara ditutup dengan sesi tanya jawab interaktif dan foto bersama seluruh peserta. Para jurnalis muda tampak antusias, mencatat setiap pesan dan menyerap semangat baru: menulis lebih cerdas, bukan hanya lebih cepat. Boston

